Tuesday, December 09, 2008

Konteks Sosial Kurban

Dari tahun ke tahun, kuantitas pekurban (orang yang melakukan kurban) terus mengalami peningkatan. Buktinya, semakin banyak hewan kurban yang disembelih pada hari raya itu. Suatu realitas positif yang patut kita syukuri bahkan berbangga hati, ternyata kesadaran umat Islam untuk berkurban terus mengalami lonjakan. Permasalahannya sekarang, apakah tingginya animo berkurban ini mengindikasikan semakin tingginya kesalehan para pekurbannya? Untuk menjawab ini, kita perlu meluangkan waktu dan memeras pikiran sejenak sembari memandang realitas empiris yang terjadi di sekeliling kita. Ada beberapa kemungkinan jawaban yang dapat dimunculkan,

Pertama, berkurban merupakan sebuah prestise, sehingga berkurban hanya berfungsi sebagai alat untuk mencari popularitas, menjaga gengsi, mendulang hegemoni, dan sebagai topeng untuk menutup borok diri. Dengan memberikan puluhan bahkan ratusan hewan kurban, publik akan menilai kita sebagai dermawan, manusia hero, orang hebat, kaya, dan sederet julukan mulia lainnya. Na'udzubillah, jika ini yang terjadi maka sia-sialah kurban yang kita sembelih. Untuk hypocrisy (kemunafikan) ini, tak ada balasan yang layak diberikan kecuali siksa neraka.

Kedua berkurban semata-mata karena iming-iming besarnya pahala dan nikmatnya surga. Harapan kita, hewan yang dikurbankan kelak akan menjadi kendaraan penyelamat tatkala melintasi shirath (jembatan) menuju surga, sebagaimana dituturkan oleh Nabi dalam beberapa hadisnya. Jika ini yang terjadi, berarti kita masih terjebak pada pemahaman sempit tentang agama. Agama hanya kita pahami sebagai sebuah ritual, yang tidak dapat memberikan kontribusi secara langsung kepada kemaslahatan sosial. Akibatnya, ibadah kurban tidak mampu melahirkan nilai praktis dalam kehidupan masyarakat. Kelompok ini memandang, ibadah dalam bentuk ritual lebih menjadi juru selamat daripada ibadah dalam bentuk sosial.

Ketiga
, berkurban selain sebagai konkretisasi ketundukan diri kepada Sang Pencipta (kesalehan
ritual) juga ditindaklanjuti dengan peningkatan kualitas moral dan sosial (kesalehan sosial) para pekurbannya. Kelompok ini memandang agama secara holistik dan komprehensif. Menurut mereka, ibadah dalam bentuk ritual an sich belum sempurna tanpa dibarengi ibadah dalam bentuk kepekaan dan kepedulian sosial.

Dengan pemaknaan seperti ini, berkurban tidak hanya berarti konkretisasi kepatuhan kepada Tuhan yang diterjemahkan melalui ritual an sich, tetapi lebih dari itu tercermin pula dalam perilaku sosial bermasyarakat. Sehingga secara moral dan sosial, kurban dapat melahirkan nilai praktis dalam menyelesaikan berbagai problematika kehidupan masyarakat, serta mampu memberikan kontribusi yang konstruktif untuk kemaslahatan manusia seluruhnya.
Dari tiga kemungkinan itu, kira-kira, termasuk kelompok berapakah masyarakat kita saat ini?
Pertamakah, kedua, atau ketiga? Patut disangsikan jika kelompok ketiga yang menjadi jawaban kita.

Melalui kacamata objektif, dengan sadar, tentulah kita akan menyalahkan dan membantah jawaban itu.
Buktinya, sampai detik ini kita tetap bisa melihat substansi mentalitas negatif yang terus bersemayam dalam diri masyarakat. Agar kurban kita memiliki makna yang sempurna, sebagai ritual ketundukan sekaligus inspirator pengembangan kesalehan sosial, penulis memandang perlu mengemukakan makna sosial yang terkandung di dalam kurban sebagai pesan substansial bagi hamba-Nya di dunia.

Makna sosial kurban
Setiap yang dititahkan (disyari'atkan) Allah tentulah memiliki makna sosial, tak terkecuali ibadah kurban. Selain memiliki makna ritual, ibadah kurban juga mengandung makna sosial. Oleh karenanya, umat Islam yang merayakan Idul Kurban seharusnya berupaya menggali makna yang terkandung di dalamnya dan mengimplementasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Jangan sampai ibadah kurban ini hanya menjadi rutinitas yang miskin makna, hanya sampai pada proses penyembelihan hewan kurban, mendistribusikannya dan pesta sate sepuas-puasnya.

Di antara makna sosial yang terkandung di dalam ritual kurban adalah:
Pertama, dibebankannya ibadah
ini bagi umat Islam yang mampu dan mendistribusikan dagingnya kepada kaum lemah menyiratkan pesan substansial kepada kita agar selalu bersemangat membantu meringankan penderitaan orang lain. Bantuan yang diberikan pun tidak selalu harus berupa materi, melainkan bisa dengan apa pun yang dapat kita sumbangkan demi penyelesaian problematika sosial masyarakat. Misalnya, sumbangan pikiran, motivasi, tenaga, dan lainnya. Secara substansial, orang yang setiap tahun melaksanakan kurban belum dapat disebut 'berkurban' jika dalam dirinya tidak tertanam semangat membantu meringankan beban penderitaan orang lain dalam kehidupan sehari-harinya. Sebaliknya, meskipun tidak memiliki kekayaan untuk melakukan kurban tetapi dalam dirinya telah mengkristal semangat meringankan beban penderitaan orang lain berarti mereka inilah (yang secara substansial) layak disebut pekurban sejati.

Kedua, ketundukan Ibrahim kepada Tuhannya membawa pesan moral kepada kita untuk senantiasa patuh kepada undang-undang dan aturan yang ada. Sebagai umat Islam sekaligus warga negara yang baik, kita harus menghargai hukum, undang-undang dan tata aturan yang berlaku di negeri ini, di samping tentunya mematuhi hukum dan undang-undang dari Tuhan itu sendiri, yang tersampaikan melalui scriptural Islam (Alquran dan Sunah Nabi).

Ketiga, menyembelih hewan berarti menyembelih sifat-sifat kebinatangan seperti egois, serakah, rakus, menindas, tidak mengenal aturan, norma atau etika, dan rela membunuh saudara demi keuntungan pribadi. Memperkaya diri sendiri, memonopoli seluruh sektor perekonomian, korupsi, penindasan terhadap masyarakat lemah, tidak taat aturan, bertindak amoral, arogan, dan apatis terhadap realitas sosial masyarakat yang memprihatinkan, menunjukkan bahwa kurban yang dilakukan belum mampu memberikan kontribusi positif untuk memperbaiki diri dan menata tatanan sosial yang lebih baik.

Keempat, disunahkannya menggemakan takbir sampai waktu ashar di akhir Hari Tasyriq (tanggal 13 Dzulhijjah) memperlihatkan kepada kita bahwa hanya Allah-lah yang memiliki kekuasaan agung dan absolut. Oleh karenanya, tidaklah patut para pejabat negara, elite-kekuasaan, elite-politik, elite-ekonomi, dan manusia-manusia kaya, bertindak semena-mena terhadap manusia lain serta berjalan congkak di muka bumi ini.

Pemaknaan seperti inilah yang akan menemukan relevansinya dengan kondisi bangsa kita yang sedang didera banyak derita bencana dan multikrisis di segala sektor; krisis pemerintahan, moral, sosial, ekonomi, edukasi, dan sebagainya.

Irham Sya'roni
Kepala Pondok Pesantren Darul-Hikmah Yogyakarta

sumber: http://www.republika.co.id/koran


No comments: