Friday, June 24, 2011

Tutup Tambang Migas di Sidoarjo

WALHI meminta pemerintah menutup eksplorasi gas di Kalidawir, Kabupaten Sidoarjo. Penutupan ini karena beberapa alasan. 
Pertama, Sidoarjo kawasan padat hunian penduduk yang sangat berbahaya jika terjadi kecelakaan kegiatan pertambangan seperti kasus Lumpur Lapindo. 
 
Kedua, berdasarkan Jurnal Earth and Planetary Science Letters tertanggal 15 Agustus 2008, Sidoarjo, khusus kawasan Porong dilewati patahan Watukosek. Patahan ini terbentuk pada masa Paleogene, sekitar 65 juta tahun lalu. Karakternya berupa cekungan berisi lumpur laut, bertekanan tinggi. Patahan lapisan tanah inilah yang membuat kondisi bawah permukaan Sidoarjo sangat labil.

Ketiga, tidak seimbang dana bagi hasil migas yang diterima Kabupaten Sidoarjo dari kegiatan lifting migas Lapindo Brantas. "Tahun 2004 saja, dana bagi hasil yang diterima Kabupaten Sidoarjo hanya Rp2 miliar. Padahal saat itu lifting migas dalam empat tahun terakhir mencapai puncak, 29.944.360 MMBTU,‘ kata Direktur Eksekutif Walhi Jawa Timur, Bambang Catur Nusantara. Pendapatan bagi hasil yang diterima Sidoarjo tidak seimbang dengan kerusakan akibat semburan lumpur di Porong. Greenomics mengestimasi kerugian finansial akibat semburan lumpur selama 30 tahun mencapai Rp30 triliun lebih. “Ini sama dengan 15 tahun kekuatan APBD Sidoarjo.‘

Catur mengatakan, potensi kandungan migas di patahan Watukosek ini sangat besar. Berdasarkan laporan BP Migas Desember 2004 hingga Mei 2005, lifting gas di Sidoarjo bisa 6.314 MMBTU senilai US$16,5 juta. Namun, risiko aktivitas migas di tempat ini juga besar. "Jika perusahaan migas pemegang konsesi bisa berkomitmen seperti British Petroleum dalam menangani musibah di Teluk Meksiko, mungkin tidak perlu lagi ada ketakutan.‘

Saat ini, sesuai data dari Dinas Pertambangan Sidoarjo, tercatat ada 49 sumur yang dikelola Lapindo Brantas. Dari angka itu, 14 sudah berproduksi, 25 masih pengembangan, tujuh berstatus eksplorasi. Sisanya berstatus selineasi.
 
Keempat, Walhi meminta pemerintah menghentikan eksplorasi gas di Sidoarjo, lumpur lapindo mengakibatkan kehancuran sumber produksi lokal. Audit BPK tahun 2007 menyebut kerugian langsung akibat lumpur lapindo sampai tahun 2015 mencapai hampir Rp20 triliun. Ini belum termasuk kerugian tidak langsung yang dirasakan daerah lain di Jawa Timur. Akibat bencana lumpur lapindo ini, empat kecamatan di Sidoarjo mengalami  dampak langsung dan tidak langsung. Tanah sawah yang menjadi alat produksi  masyarakat lokal hilang. Belum lagi sumber air sungai dan air tanah yang  telah dicemari pembuangan lumpur. Ini berdampak pada produksi perikanan darat yang jadi sumber penghidupan warga. Belum lagi industri dan manufaktur yang hilang dan rusak, menciptakan pengangguran. "Kelima, kehancuran akibat bencana lumpur Lapindo, membuat terabaikan pemenuhan hak dasar penduduk korban lumpur.‘ Dari data dihimpun Walhi, ada 33 sekolah terdampak lumpur sampai lima tahun menyembur, tidak mendapat penanganan jelas. Hak warga mendapatkan udara sehat terabaikan. Walhi menemukan 13 kasus kematian diduga berkaitan dengan keracunan hidrokarbon.

Gubernur Jawa Timur Soekarwo, setuju usulan Walhi Jatim ini. Lapindo Brantas tidak boleh melakukan kegiatan pertambangan migas di Kalidawir dengan pertimbangan etika dan sosial. "Lapindo harus menyelesaikan dulu masalahnya terkait lumpur lapindo.‘ Sampai kini, Lapindo punya tanggungan Rp1,4 triliun pembayaran ganti rugi yang belum dituntaskan. Sekitar Rp 400 miliar akan dituntaskan pertengahan tahun ini. Diharapkan seluruh tanggungan Lapindo ini akan tuntas pertengahan 2012.

Sumber: Jurnal Nasional | May 2011 | Witanto

No comments: