Oleh : Riyanto
DULU, jika ada pertanyaan, apa yang paling terkenal dari Sidoarjo, jawabannya pasti tak akan jauh dari bandeng atau udang. Dua hewan air itu adalah komoditas andalan Sidoarjo yang telah lama ditempatkan sebagai lambang Kabupaten Sidoarjo. Namun, sejak Juni 2006, jawaban tersebut agaknya tidak tepat lagi. Sebab, kenyataannya, ada yang lebih terkenal daripada bandeng dan udang. Yaitu, lumpur Lapindo.

Hampir semua orang di Indonesia tahu lumpur Lapindo. Bahkan, sudah banyak orang di luar negeri yang mengenalnya. Lumpur panas tersebut bahkan menjelma menjadi ikon Sidoarjo. Setiap bicara mengenai Sidoarjo, di benak orang akan terlintas sebuah danau luas yang berisi lumpur panas berbau menyengat itu.
Sayang, popularitas lumpur Lapindo tak berbanding lurus dengan kesejahteraan masyarakat Sidoarjo. Bahkan, luapan lumpur Lapindo justru menjadi derita berkepanjangan. Tidak saja bagi masyarakat sekitar lumpur, melainkan bagi seluruh masyarakat Sidoarjo.
Infrastruktur bernilai triliunan hancur. Lantas, hal itu merembet ke investasi yang merosot tajam. Pertumbuhan ekonomi pun terjun bebas. Tidak berhenti di situ saja. Mental orang Sidoarjo, terutama yang terkena dampak langsung lumpur, drop. Tak sedikit yang sakit jiwa. Bahkan, ada yang mencoba bunuh diri. Sungguh dahsyat dampak lumpur Lapindo.
***
Pada 25 Juli 2010, Sidoarjo akan melakukan pemilihan bupati dan wakil bupati. Apakah pemilukada akan dimaknai masyarakat sebagai tiket masuk untuk melahirkan pemimpin yang mampu membawa keluar Sidoarjo dari keterpurukan akibat lumpur Lapindo? Atau, masyarakat tetap menganggap pemilukada hanya sebagai rutinitas yang gitu-gitu aja? Hal tersebut perlu dianalisis dan dinantikan.
Dalam teori demokrasi, substansi pemilu langsung adalah sebuah upaya untuk menghasilkan pemimpin yang berkualitas secara demokratis. Jadi, misi pemilukada adalah melahirkan pemimpin yang terbaik. Logika politiknya, semakin berkualitas sebuah pemilu, semakin berkualitas pula pemimpin yang dihasilkan.
Dalam konteks tersebut, masyarakat Sidoarjo sesungguhnya memiliki peluang untuk memilih pemimpinnya sendiri yang dianggap berkualitas. Setiap warga Sidoarjo akan menjadi subjek yang ikut menentukan masa depan Sidoarjo. Suara mereka sangat berpengaruh untuk menempatkan seseorang menjadi nakhoda Sidoarjo agar bisa keluar dari keterpurukan akibat lumpur Lapindo.
Harapannya, warga Sidoarjo bisa dan mau menyadari bahwa pemilukada kali ini sangat strategis untuk mengubah wajah Sidoarjo. Jadi, mereka harus menggunakan hak pilih. Tidak sekadar ikut coblosan, melainkan juga menggunakan pertimbangan rasional. Yang dipilih nanti harus yang terbaik di antara sekian pilihan yang tersedia. Termasuk, mempertimbangkan integritas dan kapabilitas calon dalam menangani lumpur Lapindo.
Sepuluh tahun ke depan, pembangunan infrastruktur dan sektor lainnya tak akan terlepas dari kondisi lumpur Lapindo. Jadi, bisa dibayangkan apa jadinya bila Sidoarjo dipegang bupati yang gagap dalam mengambil keputusan. Sidoarjo jelas memerlukan pemimpin yang memiliki kejujuran, ketulusan, semangat, dan kemampuan yang luar biasa untuk menghadapi masalah-masalah berat berkaitan dengan lumpur Lapindo.
***
Mengingat dampaknya yang begitu besar bagi masyarakat, sangat terbuka sekali jika lumpur Lapindo akan menjadi isu panas dalam kampanye mendatang. Tiap calon bupati akan memanfaatkan Lapindo sebagai komoditas kampanye untuk menarik simpati pemilih sebanyak-banyaknya.
Calon incumbent tentu akan mengambil posisi bertahan dan mengusung slogan "Lanjutkan". Mereka (calon incumbent) akan meyakinkan masyarakat Sidoarjo bahwa hal yang dilakukan selama ini sudah benar dan berada di jalur yang tepat (on the track).
Langkah ke depan yang perlu dilakukan adalah melanjutkan dan memperbaiki hal yang belum sempurna. Tidak perlu ada perubahan total. Untuk menjamin agar program-program tetap berkesinambungan perlu kepemimpinan yang kuat. Yang dibutuhkan adalah bupati yang paham seluk-beluk penanganan lumpur Lapindo sejak awal, bukan wajah baru yang sama sekali belum berpengalaman.
Calon lainnya tentu akan menggunakan perspektif lain. Mereka (calon bupati) akan menyatakan bahwa penanganan lumpur Lapindo selama ini jauh dari harapan masyarakat Sidoarjo. Langkah yang dilakukan pemerintah kurang tepat. Itu tampak saat bernegosiasi dengan pihak Lapindo yang berkaitan dengan ganti rugi maupun antisipasi dan pencegahan dampaknya. Mereka masih perlu strategi yang lebih berpihak kepada masyarakat. Selanjutnya, mereka akan menawarkan langkah-langkah yang ditempuh jika terpilih menjadi bupati.
Dalam situasi perang janji dan opini seperti itu, kita berharap, masyarakat cerdas dalam memilah dan memilih calon yang benar-benar paham dengan lumpur Lapindo. Masyarakat harus teliti dengan cabup yang hanya pandai bicara, tapi tak berpihak kepada masyarakat Sidoarjo. Masyarakat perlu mengenali cabup yang memiliki sense of crisis. Jadi, bila terpilih, dia akan mampu menghadapi tarikan-tarikan kekuatan politik saat menyelesaikan kasus lumpur Lapindo. Bupati harus gigih dan tak kenal lelah dalam memperjuangkan nasib masyarakat.
Namun, harapan untuk bersikap selektif dan rasional agaknya akan berhadapan dengan kecenderungan masyarakat yang apatis terhadap pemilukada. Jujur, harus kita akui bahwa mereka (baca: masyarakat) tak mau berpikir terlalu mendalam tentang sosok yang paling pas untuk menempati posisi Sidoarjo 1. Mereka sudah apriori dan berpikir, "Paling yo ngono-ngo ae. Tiwas dipikir mumet".
Hambatan tersebut masih ditambah "hantu" pragmatisme. Masyarakat lebih mengutamakan apa yang bisa diberikan cabup sebelum pemilukada. Apa yang bisa diberikan calon saat ini? Imbalan apa yang saat ini bisa diberikan cabup? Cabup dengan "hadiah" yang paling besar akan dipilih. Itu sangat mengkhawatirkan.
Kita memang belum seperti negara yang demokrasinya telah maju. Di negara maju, isu-isu semacam itu (lumpur Lapindo) akan menjadi pertimbangan mendalam untuk memilih seorang pemimpin. Masyarakat sangat sensitif terhadap isu besar. Sebuah isu strategis bisa menaikkan popularitas dan elektabilitas seorang calon. Pergerakan pilihan masyarakat sangat dinamis. Semua bergantung pada sikap dan kemampuan calon dalam menempatkan isu tersebut. Jika tepat, calon tersebut akan naik. Sebaliknya, jika salah, habis sudah.
Meski masyarakat Sidoarjo belum sampai pada tingkat itu, setidaknya, kita bisa berharap bahwa semua komponen yang peduli dengan Sidoarjo mau dan mampu memainkan perannya dalam pemilukada nanti. Harapannya, isu lumpur Lapindo bisa dijadikan media untuk mengukur kualitas dan integritas pemimpin Sidoarjo. Kita ingin pemilukada menjadi tiket masuk untuk memiliki pemimpin terbaik yang akan membawa Sidoarjo bangkit, seperti slogan yang selama ini didengung-dengungkan. (*/c12/mik)
*) Penulis adalah pemerhati masalah sosial, aktif sebagai koordinator Lembaga Keswadayaan Masyarakat Sukorejo Guyub Makaryo Sidoarjo
DULU, jika ada pertanyaan, apa yang paling terkenal dari Sidoarjo, jawabannya pasti tak akan jauh dari bandeng atau udang. Dua hewan air itu adalah komoditas andalan Sidoarjo yang telah lama ditempatkan sebagai lambang Kabupaten Sidoarjo. Namun, sejak Juni 2006, jawaban tersebut agaknya tidak tepat lagi. Sebab, kenyataannya, ada yang lebih terkenal daripada bandeng dan udang. Yaitu, lumpur Lapindo.

Hampir semua orang di Indonesia tahu lumpur Lapindo. Bahkan, sudah banyak orang di luar negeri yang mengenalnya. Lumpur panas tersebut bahkan menjelma menjadi ikon Sidoarjo. Setiap bicara mengenai Sidoarjo, di benak orang akan terlintas sebuah danau luas yang berisi lumpur panas berbau menyengat itu.
Sayang, popularitas lumpur Lapindo tak berbanding lurus dengan kesejahteraan masyarakat Sidoarjo. Bahkan, luapan lumpur Lapindo justru menjadi derita berkepanjangan. Tidak saja bagi masyarakat sekitar lumpur, melainkan bagi seluruh masyarakat Sidoarjo.
Infrastruktur bernilai triliunan hancur. Lantas, hal itu merembet ke investasi yang merosot tajam. Pertumbuhan ekonomi pun terjun bebas. Tidak berhenti di situ saja. Mental orang Sidoarjo, terutama yang terkena dampak langsung lumpur, drop. Tak sedikit yang sakit jiwa. Bahkan, ada yang mencoba bunuh diri. Sungguh dahsyat dampak lumpur Lapindo.
***
Pada 25 Juli 2010, Sidoarjo akan melakukan pemilihan bupati dan wakil bupati. Apakah pemilukada akan dimaknai masyarakat sebagai tiket masuk untuk melahirkan pemimpin yang mampu membawa keluar Sidoarjo dari keterpurukan akibat lumpur Lapindo? Atau, masyarakat tetap menganggap pemilukada hanya sebagai rutinitas yang gitu-gitu aja? Hal tersebut perlu dianalisis dan dinantikan.
Dalam teori demokrasi, substansi pemilu langsung adalah sebuah upaya untuk menghasilkan pemimpin yang berkualitas secara demokratis. Jadi, misi pemilukada adalah melahirkan pemimpin yang terbaik. Logika politiknya, semakin berkualitas sebuah pemilu, semakin berkualitas pula pemimpin yang dihasilkan.
Dalam konteks tersebut, masyarakat Sidoarjo sesungguhnya memiliki peluang untuk memilih pemimpinnya sendiri yang dianggap berkualitas. Setiap warga Sidoarjo akan menjadi subjek yang ikut menentukan masa depan Sidoarjo. Suara mereka sangat berpengaruh untuk menempatkan seseorang menjadi nakhoda Sidoarjo agar bisa keluar dari keterpurukan akibat lumpur Lapindo.
Harapannya, warga Sidoarjo bisa dan mau menyadari bahwa pemilukada kali ini sangat strategis untuk mengubah wajah Sidoarjo. Jadi, mereka harus menggunakan hak pilih. Tidak sekadar ikut coblosan, melainkan juga menggunakan pertimbangan rasional. Yang dipilih nanti harus yang terbaik di antara sekian pilihan yang tersedia. Termasuk, mempertimbangkan integritas dan kapabilitas calon dalam menangani lumpur Lapindo.
Sepuluh tahun ke depan, pembangunan infrastruktur dan sektor lainnya tak akan terlepas dari kondisi lumpur Lapindo. Jadi, bisa dibayangkan apa jadinya bila Sidoarjo dipegang bupati yang gagap dalam mengambil keputusan. Sidoarjo jelas memerlukan pemimpin yang memiliki kejujuran, ketulusan, semangat, dan kemampuan yang luar biasa untuk menghadapi masalah-masalah berat berkaitan dengan lumpur Lapindo.
***
Mengingat dampaknya yang begitu besar bagi masyarakat, sangat terbuka sekali jika lumpur Lapindo akan menjadi isu panas dalam kampanye mendatang. Tiap calon bupati akan memanfaatkan Lapindo sebagai komoditas kampanye untuk menarik simpati pemilih sebanyak-banyaknya.
Calon incumbent tentu akan mengambil posisi bertahan dan mengusung slogan "Lanjutkan". Mereka (calon incumbent) akan meyakinkan masyarakat Sidoarjo bahwa hal yang dilakukan selama ini sudah benar dan berada di jalur yang tepat (on the track).
Langkah ke depan yang perlu dilakukan adalah melanjutkan dan memperbaiki hal yang belum sempurna. Tidak perlu ada perubahan total. Untuk menjamin agar program-program tetap berkesinambungan perlu kepemimpinan yang kuat. Yang dibutuhkan adalah bupati yang paham seluk-beluk penanganan lumpur Lapindo sejak awal, bukan wajah baru yang sama sekali belum berpengalaman.
Calon lainnya tentu akan menggunakan perspektif lain. Mereka (calon bupati) akan menyatakan bahwa penanganan lumpur Lapindo selama ini jauh dari harapan masyarakat Sidoarjo. Langkah yang dilakukan pemerintah kurang tepat. Itu tampak saat bernegosiasi dengan pihak Lapindo yang berkaitan dengan ganti rugi maupun antisipasi dan pencegahan dampaknya. Mereka masih perlu strategi yang lebih berpihak kepada masyarakat. Selanjutnya, mereka akan menawarkan langkah-langkah yang ditempuh jika terpilih menjadi bupati.
Dalam situasi perang janji dan opini seperti itu, kita berharap, masyarakat cerdas dalam memilah dan memilih calon yang benar-benar paham dengan lumpur Lapindo. Masyarakat harus teliti dengan cabup yang hanya pandai bicara, tapi tak berpihak kepada masyarakat Sidoarjo. Masyarakat perlu mengenali cabup yang memiliki sense of crisis. Jadi, bila terpilih, dia akan mampu menghadapi tarikan-tarikan kekuatan politik saat menyelesaikan kasus lumpur Lapindo. Bupati harus gigih dan tak kenal lelah dalam memperjuangkan nasib masyarakat.
Namun, harapan untuk bersikap selektif dan rasional agaknya akan berhadapan dengan kecenderungan masyarakat yang apatis terhadap pemilukada. Jujur, harus kita akui bahwa mereka (baca: masyarakat) tak mau berpikir terlalu mendalam tentang sosok yang paling pas untuk menempati posisi Sidoarjo 1. Mereka sudah apriori dan berpikir, "Paling yo ngono-ngo ae. Tiwas dipikir mumet".
Hambatan tersebut masih ditambah "hantu" pragmatisme. Masyarakat lebih mengutamakan apa yang bisa diberikan cabup sebelum pemilukada. Apa yang bisa diberikan calon saat ini? Imbalan apa yang saat ini bisa diberikan cabup? Cabup dengan "hadiah" yang paling besar akan dipilih. Itu sangat mengkhawatirkan.
Kita memang belum seperti negara yang demokrasinya telah maju. Di negara maju, isu-isu semacam itu (lumpur Lapindo) akan menjadi pertimbangan mendalam untuk memilih seorang pemimpin. Masyarakat sangat sensitif terhadap isu besar. Sebuah isu strategis bisa menaikkan popularitas dan elektabilitas seorang calon. Pergerakan pilihan masyarakat sangat dinamis. Semua bergantung pada sikap dan kemampuan calon dalam menempatkan isu tersebut. Jika tepat, calon tersebut akan naik. Sebaliknya, jika salah, habis sudah.
Meski masyarakat Sidoarjo belum sampai pada tingkat itu, setidaknya, kita bisa berharap bahwa semua komponen yang peduli dengan Sidoarjo mau dan mampu memainkan perannya dalam pemilukada nanti. Harapannya, isu lumpur Lapindo bisa dijadikan media untuk mengukur kualitas dan integritas pemimpin Sidoarjo. Kita ingin pemilukada menjadi tiket masuk untuk memiliki pemimpin terbaik yang akan membawa Sidoarjo bangkit, seperti slogan yang selama ini didengung-dengungkan. (*/c12/mik)
*) Penulis adalah pemerhati masalah sosial, aktif sebagai koordinator Lembaga Keswadayaan Masyarakat Sukorejo Guyub Makaryo Sidoarjo
No comments:
Post a Comment